Sahabatku Aku Menunggumu

20.11

Cerita pendek ini kupersembahkan untuk sahabat ku, Ali. Seorang laki-laki berambut keriting yang memiliki senyum indah. Sahabat masa kecil, yang sekarang entah dia ada di mana. Semoga engkau membaca cerita pendekku ini. Aku beri judul sederhana yaitu "Sahabatku Aku Menunggumu".
Di mulai saja ya ceritanya :)


++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kehidupan remaja itu sangat indah, ada suka ada dukanya. Tapi semua serasa ringan seperti pasir, dengan adanya sahabat yang ada disamping kita. Memberikan sesuatu yang tak akan terbayarkan oleh apapun.

Sekarang, usiaku 17 tahun. Usia dimana masa-masa mencari jati diri. Bagiku masa-masa ini adalah hal paling indah dan menyenangkan. Apalagi memiliki seorang sahabat seperti Uni. Dialah Kartika Eka Rachmita Indrariana, aku biasa memanggilnya Uni. Seseorang yang tegar dan memiliki suara mengelegar. Banyak hal yang sudah kita lewati bersama. Mengerjakan tugas bersama, makan bersama, sampai-sampai pernah bolos jam pelajaran bersama demi nemenin aku sarapan di koperasi sekolah. Suka duka kita bersama, saling menguatkan satu sama lain.

Ada satu hal yang paling berkesan tentang cerita-ceritanya, yaitu cerita masa kecilnya. Cerita masa kecil yang baginya paling berkesan dan penuh tanda tanya.

====================================================================

Senja begitu indah hari ini. Matahari tenggelam indah memancarkan sinarnya, burung-burung berkicau riang dilapangan depan TK Trisula. Mita, gadis usia 15 tahun, duduk sendiri dibawah pohon linden memegang fotonya bersama Ali. Ali adalah sahabat masa kecilnya. Foto mereka berdua saat masih kanak-kanak dulu, masih disimpannya rapi. Tak hanya foto yang ia simpan, kenangan mereka juga disimpannya rapi dalam hatinya.

Sore itu, sekelibat kenangan bersama Ali terlintas dibenaknya. Dibawah pohon linden ini banyak kenangannya bersama Ali. Ditempat itu juga Mita akan mengenangnya kembali.

====================================================================

“Allahu  Akbar......”, kumandang adzan terdengar dari surau-surau Klebun sekitar rumah Mita.
Bunda yang sudah bangun dari jam 3 pagi tadi melangkahkan kakinya ke depan kamar Mita.
“Hoam.. Ayo bangun Adik!”, teriak bunda sambil membuka pintu kamar Mita.
“Ayo bangun Adik. Ayo shalat dulu”, kata bunda sambil membelai rambut Mita.
“Mita masih ngantuk Bunda”, jawabnya sinis sambil menarik selimut ke tubuhnya.
Walaupun Mita masih berusia 5 tahun tapi bunda selalu membiasakan Mita untuk beribadah terutama shalat.
“Ayo Adik. Katanya nggak mau meninggalkan shalat”, seru bunda.
 “Iyaaaaa Bunda,” jawab Mita sambil menarik handuk digantungan kamar dan terbirit-birit ke kamar mandi.
“Ayo Adik cepetan nanti telat loh”, perintah bunda yang melihat Mita malas-malasan menali sepatu.

Hari ini, bunda akan mendaftarkan Mita ke salah satu taman kanak-kanak didekat rumah. Setelah menali sepatu, ia langsung lari terbirit-birit menyusul bunda yang sudah melangkah jauh.

“Bunda..... tunggu Mita,”teriaknya.

Bunda dan Mita datang paling awal sebelum pendaftaran dibuka. Mereka berdua duduk disebelah perosotan depan TK Trisula Klebun. Sambil menunggu pendaftaran dibuka, Mita makan roti yang ia selipkan ditasnya karena tadi tidak sempat sarapan dirumah. Sedangkan bunda menyiapkan segala keperluan untuk pendaftaran.

Tidak lama kemudian seorang wanita sebaya berjilbab datang dengan sepeda kayuhnya. Bunda yang sudah mengenal wanita itu tersenyum dan memberitahu Mita tentang guru itu.

“Itu ibu guru kamu Adik”, kata Bunda lirih.

Mita langsung menaruh rotinya dan lari menghampiri ibu guru itu.
“Assalamualaikum”, kata Mita memberi salam sambil tersenyum lebar dan bersalaman.
Ibu guru itu belum menjawab salamnya, tapi ia langsung lari dan menghampiri bapak tua yang berdiri dekat pagar sekolah.
“Assalamualaikum Pak Ahmad”, kata Mita memberi salam dan bersalaman.
Ia memang sudah mengenal Bapak Ahmad, karena bapak itu adalah penjual buah yang setiap hari selalu mengantarkan buah ke rumahnya.
“Waalaikumsalam Mbak Mita”, jawab bapak Ahmad.
“Ini siapa Bapak? Putera Bapak?”, tanya Mita ingin tau lelaki yang digandeng Bapak Ahmad.
“Iya Mbak Mita. Ini Ali, putera bapak. Ali, ini Mbak Mita putri Bunda Ine”, kata bapak itu.
“Hai Ali, aku Mita”, kata Mita sambil bersalaman dengan Ali.
 “Hai Mita,” jawab Ali sambil tersenyum lebar.
Setelah perkenalan itu, mereka berdua berbincang lebih banyak dibawah pohon linden depan sekolah. Sampai-sampai Mita tak mendengar teriakan bunda dari pagar sekolah.

“Kamu dipanggil bunda itu”, kata Ali mengagetkan Mita.
“Oh ya? Mita nggak dengar. Hehe”, jawabnya sambil nyengir.
“Iya cepetan kesana”, perintah Ali.
“Iya. Ali nanti malem main ke rumah Mita yaa”, kata Mita kencang sambil berlari menuju bunda.
“Mungkin kata yang ditipi-tipi itu benar. Jika ada ketertarikan pendengarnya maka percakapannya sering menjadi menarik”, gumam Mita sambil tersenyum saat perjalanan pulang.

Walaupun umurnya masih dibawah umur tapi kadangkala Mita bisa berpikir lebih dewasa daripada umurnya. Bunda yang melihat anaknya seperti itu hanya tersenyum.

“Adik nanti malam mau dimasakin apa?”, tanya Bunda.
“Mita pengin semur ayam. Nanti makan malamnya Mita ngajak Ali ya,” jawab Mita riang.
“Iya Adik, nggak apa-apa”, jawab Bunda.

Malam pun tiba. Matahari dibungkus indah oleh sang rembulan, berbalut sinar putih. Ali menepati janjinya untuk datang ke rumah Mita malam itu. Ia datang berbalut baju kusam dan robek, meski begitu wajahnya tetap ceria dengan lesung pipinya. Rambut keritingnya sudah disisir rapi.

Mita sendiri yang membukakan pintu untuk Ali. Mereka pun mulai menyantap hidangan yang sudah disiapkan bunda. Hanya mereka bertiga yang ada dimeja makan itu. Karena ayah Mita sedang bekerja sebagai juru masak dikapal asing dan pulangnya hanya 2 bulan sekali.

Setelah makan malam usai, Mita mengajak Ali untuk bermain diruang tengah. Mita yang sibuk dengan puzzelnya, sampai-sampai Ali dibiarkan begitu saja berada diruangan itu. Ali memilih untuk bermain rubik. Namun, ia tak tau bagaimana cara memainkannya dengan benar dan tepat. Ia hanya memutar-mutar kesegala arah. Mengetahui hal itu, Mita langsung membuka pembicaraan.

“Itu ada buku panduannya”, kata Mita lirih sambil menunjuk ke rak buku.
“Buku panduan?,” tanya Ali tak mengerti.
“Iya Ali. Ini namanya permainan rubik dan ini buku panduannya”, kata Mita sambil menyodorkan buku bertuliskan “Rubik Itu Mudah”.

Ali langsung menerima dan membaca buku panduan itu. Walaupun ia belum mengerti benar tentang membaca tapi ia sedikit terbantu dengan adanya gambar-gambar dibuku itu. Wajah Ali riang mempermainkan rubik itu. Mita yang mengetahui ekspresi wajahnya langsung angkat bicara.

“Kamu bisa membawanya pulang”, kata Mita sambil tersenyum riang.
“Bawa pulang? Nggak”, jawab Ali pelan.
“Nggak apa-apa. Bawa aja pulang. Aku kurang begitu suka dengan rubik”, kata Mita.
“Beneran?”, tanya Ali tak percaya.
“Iya Ali”, jawab Mita sambil menyunggingkan senyum.
====================================================================

Matahari pagi cerah. Langit biru tersaput sedikit awan. Mita bergegas menuju sekolah barunya. Wajahnya riang tujukkan semangatnya yang berkobar. Ditemani Bunda, ia berangkat pagi sekali. Katanya tak ingin ketinggalan suasana disekolah saat pagi hari.

Setibanya di halaman sekolah, ia melihat beberapa anak lain yang sedang bersalaman dengan kedua orang tuanya. Seketika itu wajah riangnya luntur, tersapu derasnya ombak. Wajah itu tunjukkan kesedihannya, tunjukkan keinginanya mencium tangan ayahnya saat berangkat sekolah. Bunda yang mengerti perubahan diwajah anaknya, langsung angkat bicara.

“Bunda mengerti. Adik pasti ingin seperti mereka kan?”, kata bunda kagetkan lamunan Mita.
“Hiiiiyya... nggak kok Bunda”, jawab Mita sambil mengusap matanya yang telah meneteskan air mata.
“Adik tidak usah bohong,” kata bunda membelai rambut Mita pelan.
“Iya Bunda. Mita ingin seperti mereka. Berpamitan dengan kedua orang tua saat berangkat sekolah,” kata Mita lirih.
“Adik pasti bisa merasakan hal itu. Pasti. Ayah akan pulang dua minggu lagi. Ayah sama bunda pasti mengantarkan Adik ke sekolah,” nasehat Bunda.

Ali yang sudah lama berdiri dibelakang Mita mengetahui pembicaraan itu dan langsung menyeletuk.

“Betul betul betul. Betul apa kata Bunda,” celetuk Ali.

Mita langsung membalikkan badan dan menatap Ali dalam-dalam.

“Mita harus tetep semangat. Berdoa biar Ayah Mita diberi kesehatan dan bisa pulang lebih cepat. Disini Mita harus belajar dengan baik. Tunjukkan sama ayah kalau Mita itu anak yang pandai,” lanjut Ali.
“Iya. Mita harus belajar, biar ayah senang,” kata Mita yang mulai menunjukkan wajah riang.
“Iya. Harus itu. Tetep semangat. Jangan nangisan melulu”, ledek Ali.
“Idiih... Ali ngeledek”, kata Mita.
“Biarin. Weeee...”, ledek Ali lagi sambil lari menuju pagar sekolah.

Mita langsung lari menyusul Ali.
=====================================================================
 
Hari demi hari meraka rangkai bersama. Bersama habiskan waktu masa kanak-kanak. Saling berbagi dan memberi satu sama lain. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Umur mereka bertambah seiring bertambahnya tahun.

=====================================================================

Dada Mita sesek seketika mengenang potongan-potongan kejadian bersama Ali. Ia menangis dalam diam, terisak dalam senyap saat sekelibat kenangan itu hadir. Ia selalu membawa foto-foto kenangannya ketika datang di bawah pohon linden itu. Baginya tempat itu adalah pengganti Ali yang telah pergi entah ke mana.
=====================================================================

Cahaya matahari pagi lembut menerpa permukaan Klebun. Bunda melangkahkan kaki ke kamar Mita.
“Adik... Ayo bangun, cepat shalat subuh,” perintah Mita.
“Ngantuk,” jawab Mita Pelan.
“Ayo Adik. Ini hari sekolah pertamamu loh”, kata Bunda sambil membelai rambut Mita.
“Iya”, jawab Mita lirih sambil menuju kamar mandi dengan malas-malasan.

Pagi ini, hari pertama Mita masuk sekolah dasar di SD Kranggan 4 Klebun. Usianya sudah genap tujuh tahun. Tapi kelakuannya masih seperti dulu saat usianya masih lima tahun. Malas bangun pagi adalah kebiasaannya.
“Pagi Mita”, teriak laki-laki berambut keriting itu.
“Adik.. sudah dijemput Ali itu. Cepetan”, seru Bunda.
“Iya Bunda”, jawab Mita malas.
“Semangat Adik”, kata Bunda sambil tersenyum.
“Mita berangkat dulu. Assalamualaikum”, kata Mita berpamitan.
=====================================================================
Setiba dikelas barunya Mita langsung menaruh tasnya dibangku paling depan dekat dengan guru. Ia memilih duduk sebangku dengan Ali. Wajahnya kusam, tak bersemangat. Lekukan tak semangat itu terpampang diwajahnya.

“Mita kenapa?” tanya Ali ingin tau.
“Nggak apa-apa,” jawab Mita sambil tersenyum tak ikhlas.
“Kok mukanya ditekuk?”, tanya Ali ingin tau.

Mita hanya diam. Tidak menjawab.

“Mita ada masalah apa? Cerita dong,” tanya Ali sangat ingin tau mengapa Mita seperti itu.
“Nggak apa-apa. Mita nggak enak badan aja”, jawab Mita lemas.
“Hmm .. gitu tadi nggak usah sekolah aja. Istirahat dirumah”, tegur Ali.
“Tapi ini kan hari pertama sekolah,” jawab Mita.
Ali hanya menghela nafas. Karena ia tau tidak akan pernah menang kalau debat dengan Mita.

“Nanti sore main yuk”, ajak Mita sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Ke mana?”, tanya Ali.
“Terserah. Aku ingin lihat senja. Lihat senja yang paling indah dan ditempat yang indah”, celetus Mita.
“Hmm .. iya nanti aku kasih tau tempat yang indah buat lihat senja. Tapi sekarang senyum dong”, kata Ali dengan wajah ceria.
Mita hanya menatap sinis.
“Mukamu nanti keriput lho kalau cemberut melulu”, ledek Ali.
“Idih. Mita gak mau keriput”, ujar Mita sambil menyubit tangan Ali.
“Makanya harus tersenyum”, ujar Ali.
Mita hanya nyengir.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Lalu ke manakah Ali akan mengajak Mita melihat senja yang paling indah?

Tunggu di cerita pendek "Sahabatku Aku Menunggumu" Part 2 ya :)

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images